Masalah yang akan dibahas adalah Penolakan komunitas Kedokteran Indonesia atas kehadiran Dr. Warsito yang mengkalim  menemukan terapi kanker baru berbasis ECVT (Electrical Capacitance Volume Tomography). Alat ini diklaim mampu membunuh sel-sel kanker dalam tubuh.



Fenomena klaim berlebihan
pengakuan tersebut merupakan fenomena klaim berlebihan. Fenomena ini memiliki dampak yang buruk. Pertama karena memberikan edukasi yang salah ke publik. Kedua, berpotensi menghancurkan kredibilitas pelaku kegiatan itu sendiri bila tidak ditangani dengan baik.
ejadian tersebut seharusnya menjadi pelajaran penting bagi semua pihak untuk lebih berhati-hati dalam memaknai suatu ‘hasil’ kegiatan, khususnya riset.
Riset ilmiah tidak boleh membohongi publik, meski boleh salah selama tidak disengaja dan telah melalui metode ilmiah baku. Ini kontras dengan pola penulisan artikel di media massa yang mengutamakan ‘tagline yang menjual’, salah tidak apa karena harus kejar tayang serta bisa dikoreksi belakangan. Meski bukan berarti media boleh ‘dengan sengaja’ membuat artikel yang salah, tetapi yang dimaksud disini adalah media tidak selalu perlu melakukan kajian mendalam untuk memastikan kebenaran artikel yang ditulis. Hanya pada kasus investigasi khusus saja media yang baik akan melakukan cek dan ricek secara mendalam. Hal ini tentu bisa dipahami karena tidak mungkin mengejar tenggat waktu tayang kalau seluruh artikel harus dikaji mendalam seperti layaknya peneliti melakukan riset. Dalam riset, saat menemukan suatu hasil yang luar biasa sekalipun, peneliti diajarkan untuk berhati-hati dan bahkan mencurigai diri sendiri untuk mencari kemungkinan adanya kesalahan yang berujung pada kesimpulan bombastis tersebut. Peneliti harus senantiasa mawas dengan menanyakan pada diri sendiri : ‘kalau saya bisa menemukan hal hebat seperti ini, mengapa orang lain sedunia selama ini tidak menemukannya… dst”. Filosofi ini menyebabkan seorang peneliti umumnya (harus) sangat berhati-hati, bila perlu melakukan pembuktian ulang dengan metoda yang berbeda dan sebagainya.

Kasus Terapi Kanker Ala Warsito
Kembali  dengan polemik terapi kanker Warsito.  Warsito sejak lama berkiprah di dunia pengolahan citra untuk beragam aplikasi. Hasil risetnya yang membanggakan adalah aplikasi pemindaian waktu nyata berbasis ECVT.
Tidak sekedar memindai dan menampilkan materi dalam visual tomografi, Warsito kemudian mencoba mengaplikasikan teknologi yang sama untuk meradiasi materi itu sendiri. Dalam kasus ini adalah sel-sel kanker.
Banyak literatur dan kajian yang menyimpulkan bahwa gelombang elektromagnetik (listrik maupun magnet) mampu mempengaruhi pertumbuhan, atau sebaliknya mematikan sel-sel hidup. Sama halnya dengan teknologi cryogenic untuk material pada suhu sangat rendah. Teknologi ini kemudian diaplikasikan pada terapi kanker di banyak rumah sakit di Cina. Tetapi berbeda dengan radiasi elektromagnetik, pembekuan bisa dilakukan langsung pada sel-sel yang telah dipastikan sebagai kanker dengan alat khusus.
Masalah pada terapi ala Warsito adalah belum bisa dijelaskan bagaimana radiasi elektromagnetik tersebut hanya akan bereaksi pada sel-sel kanker, dan tidak berinteraksi apapun dengan sel-sel sehat di sekitarnya.  Efek sampingan dari terapi ini masih belum bisa dipertanggung-jawabkan.
Yang paling fatal barangkali adalah cara komunikasi yang tidak sesuai dengan standar komunitas. Di komunitas kedokteran, terlebih di konferensi ilmiah, tentu tidak cukup dengan testimoni. Karena justru disitulah letak perbedaan antara ‘ilmu kedokteran’ dengan ‘tukang jual obat’. Ilmu kedokteran bukan ilmu pasti dan menyangkut nyawa manusia, karenanya memiliki perangkat metode ilmiah yang sangat panjang, rinci serta (mungkin) ribet. Tentu saja bukti (evidence) ini tidak cukup dengan ‘testimoni’, tetapi harus melalui proses dan prosedur baku untuk memastikan semuanya dilakukan dengan benar dan menjaga kaidah-kaidah kemanusiaan.
 Saat ini sudah bukan era dimana setiap orang bisa melakukan penelitian, terutama dengan subyek manusia, tanpa mengindahkan etika dan metode baku.
Dalam konteks diatasdapat dipahami penolakan komunitas ilmiah kedokteran atas presentasi Warsito.  mereka ‘jengah’ dengan ‘metode ilmiah’ untuk membuktikan klaim ‘terapi kanker’  Benturan ini tentu sangat tidak sehat dan kontraproduktif. Padahal seharusnya kejadian ini dipahami sebagai koreksi untuk mengingatkan Warsito agar melakukan penelitian dan metode ilmiah baku sesuai kaidah komunitas kedokteran. Memang membutuhkan waktu lama tetapi , sama seperti di bidang teknik dan lainnya, metode baku komunitas ilmiah merupakan  pengetahuan yang dihimpun sejak awal era penelitian ilmiah dan bertujuan  untuk memastikan kebenaran ilmiah  dengan resiko seminimal mungkin bagi manusia yang menjadi subyek. Khalayak perlu memahami bahwa metode ilmiah baku bukan sesuatu yang bisa diubah oleh kepentingan (apalagi finansial) sekelompok pihak karena bersifat global dan saling terkait satu sama lain. . Usaha untuk sampai ke arah well proven itulah yang harus dilakukan dengan tekun dan benar serta didukung semua pihak. Untuk mendapat dukungan tersebut tentu harus dipresentasikan ke komunitas terkait. Suatu proses yang benar yang  menjamin  sebuah hasil penelitian ilmiah bisa dipertanggung-jawabkan. Dan sebaliknya untuk itu tidak diperlukan ekspos media…

Pembelajaran
Semua hal di atas seharusnya menjadi pembelajaran bagi kita semua, khususnya para peneliti, dalam melakukan komunikasi publik terkait kegiatan dan hasil risetnya. Kita semua harus memahami (dan tidak sekedar menyalahkan) karakteristik dan kultur dunia media yang bertolak belakang. Yang sepatutnya dilakukan adalah melakukan upaya pencegahan klaim berlebihan oleh media, apalagi sampai turut memanfaatkannya

SUMBER: www.kaskus.co.id